Jakarta, Painews.id - Pemindahan ibu kota suatu negara bukan hal baru di dunia. Sejarah mencatat pemerintah di berbagai negara telah memindahkan ibu kota mereka bahkan sebelum dunia memasuki abad-21, salah satunya Jepang.
Selama hampir 260 tahun, pemerintahan Jepang dipimpin oleh seorang shogun sementara kaisar hanya menjadi simbol. Saat itu kaisar tetap tinggal di Kyoto sebagai simbol ibu kota negara, kemudian Shogun Tokugawa Ieyasu mulai membangun Kota Edo (Tokyo di masa lalu) sebagai pusat pemerintahan pada 1603.
Ketika masa keshogunan Tokugawa Ieayasu berakhir pada 1868 yang juga menandai dimulainya Era Restorasi Meiji, kaisar pindah dari Kyoto dan menetap di Edo. Sejak kepindahan kaisar, nama Edo diubah menjadi Tokyo yang menjadi ibu kota Jepang hingga saat ini.
Sebetulnya, tak perlu jauh-jauh di Jepang. Beberapa kerajaan di Nusantara pada masa lalu juga diketahui pernah memindahkan ibu kota mereka. Salah satunya, Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa yang memindahkan ibu kotanya dari delta Sungai Brantas di sebelah timur wilayah yang saat ini dikenal sebagai Mojokerto, Jawa Timur, ke Trowulan pada 1294-1296 M.
Beranjak ke masa modern pada Abad ke-20 dan 21, beberapa negara juga memindahkan ibu kota mereka dengan berbagai alasan, antara lain menghindari risiko bencana alam, meratakan sebaran jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, Australia dari Melbourne di Victoria ke Canberra pada 1927. Ada pula Brasil yang memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960 dan Kazakhstan dari Almaty ke Astana pada 1997 (berubah nama menjadi Nur-Sultan pada Maret 2019).
Di wilayah ASEAN, Indonesia akan menjadi negara kedua setelah Myanmar yang memindahkan ibu kota di era modern Asia Tenggara, jika diskursus pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa jadi dilaksanakan. Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005, kota yang juga telah menjadi tuan rumah penyelenggaran KTT ke-25 ASEAN pada 2014 yang dihadiri Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta dinilai sudah tidak layak menjadi ibu kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis.
Dengan populasi lebih dari 10,4 juta jiwa, ditambah komuter dari kota-kota satelit Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Jakarta saat ini sungguh padat dan sesak.
Terlebih belum semua masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang sadar untuk menggunakan transportasi publik dan memaksakan diri mengendarai kendaraan pribadi yang menyebebakan kemacetan.