Oleh : Arif Zahrulyani, SH. MH.
Musibah Pandemi Covid 19 ini sudah berlangsung lebih dari setengah tahun lamanya, masyarakat bukan saja sudah mulai terbiasa hidup dengan pola dan gaya new normal atau kebiasaan-kebiasaan baru dalam kesehariannya, tetapi juga sudah mulai merasakan dampak dan kejenuhan akibat musibah pandemi ini, yang tentu saja telah mempengaruhi semua lini kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk kehidupan pribadi masing-masing diri dan individu, mulai dari saat kita bangun tidur di pagi hari sampai ketika kita masuk kembali ke kamar tidur untuk beristirahat kembali di malam harinya.
Teologi Musibah
Musibah yang dalam pemaknaan spiritual, kita artikan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup dunia dan manusia, seringkali kita rasakan sebagai hal yang menyakiti, menyusahkan atau menyulitkan, bahkan dalam titik tertentu dapat dirasakan sebagai hal yang membawa duka dan nestapa yang harus kita alami karena timpaannya. Bila saja sejenak kita memikirkan apa sebenarnya substansi yang menjadi tujuan dari adanya musibah pandemi ini, dan apa saja kira-kira hikmah yang dapat kita ambil dari keadaan ini, niscaya akan memberikan panduan yang tepat kepada kita bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Meyakini pandemi sebagai suatu peringatan atau teguran dari Tuhan yang maha kuasa atau suatu cobaan bagi kita sebagai umat manusia, tidak berarti menghalalkan pandangan kita untuk melihat bahwa pandemi ini sebagai cara dan terjadi karena kebencian Tuhan kepada kita sebagai hambaNya.
Musibah Kampung Dunia
Ketika memperkenalkan kata globalisasi, Theodore Levitte 1985, mungkin juga tidak pernah membayangkan bahwa makna universal atau global yang dicetuskannya itu, termasuk juga globalisasi penyakit atau virus seperti pandemi covid 19 ini, globalisasi yang menyimpulkan bahwa transformasi dunia yang tak terelakkan itu yang mempersatukan kampung dunia, manusia dan peradapannya, termasuk semua dimensi kehidupannya, tidak terkecuali penyakit dan atau virusnya, ditahun 2019 ini membuktikan kepada kita bahwa transformasi golobal juga bisa membawa pandemi covid 19 yang harus kita akui mampu merubah tatanan dunia dan bahkan bisa membawa pergeseran peradaban dan malapetaka global bagi kita semua sesama penghuninya.
Pergeseran peradaban dalam pandemi suka atau tidak suka harus kita terima dan lakukan, mulai dari keharusan menutup mulut dengan masker tanpa mengurangi nilai kesopanan ketika kita berbicara, tidak bersalaman maupun berpelukan ketika kita bertemu termasuk dengan orang tua, anak-anak atau orang orang yang kita cintai, menyatakan solidaritas dengan tidak datang dan berkerumun dalam komunitas, mengurangi interaksi dan tegur sapa di tempat umum atau ruang sosial, dan lain sebagainya, harus kita lakukan kalau tidak, dikhawatirkan manusia akan semakin terpuruk dalam kenestapaan akibat pandemi covid ini secara berkepanjangan.
Menyikapi musibah pandemi bila kita sepakat dan menyadarinya terjadinya keadaan ini sebagai sebagai cobaan hidup dalam kehidupan, tidak ada cara lain bagi kita selain harus bersikap positif, dan pada hakikatnya juga tidak ada hak bagi kita untuk merespons musibah pandemi global ini secara negatif, respons positif minimal yang bisa ditunjukkan bagi masing-masing kita dalam menghadapi musibah ini antara lain :
Bagi pribadi yang merasa masih banyak melakukan pelanggaran atau kejahatan terhadap norma-norma kehidupan, bila pada saat ini mengalami musibah,tetap harus berprasangka baik karena sesungguhnya musibah pandemi yang kita alami ini, bukanlah karena kemarahan dan kebencian dari Tuhan kepada kita, dengan menyadari kesalahan dan kekurangan itulah hendaklah pribadi ini berjanji dan tidak mengulanginya kesalahannya lagi pada masa mendatang.
Bagi pribadi yang selalu bersikap baik, taat dan patuh akan semua aturan dan norma yang baik dalam kehidupannya, mengalami musibah pandemi ini, dipastikan akan menyadari dan merasakannya sebagai suatu peringatan dari tuhannya, sehingga sepantasnya jika ia akan tetap memuji kebesaran tuhan yang ternyata masih mengingatnya dalam kehidupan ini.
Bagi seseorang yang masih sering melakukan pelanggaran tatapi masih selalu berusaha untuk memperbaiki dirinya, bila saatnya mengalami musibah, niscaya ia akan selalu menyikapinya dengan positif dan menyadari bahwa dibalik musibah akan ada hikmah dan kebaikan yang bisa membawa peningkatan kualitas kehidupannya di masa yang akan datang.
Kesalehan Sosial Sebagai Solusi
Kesalehan diruang sosial saat ini merupakan suatu keharusan dan kita maknai sebagai usaha yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat anak bangsa untuk segera untuk keluar dari musibah pandemi ini, upaya kolektif bersama melawan corona guna mengatasi dan menekan penyebaran virus covid 19 ini bukan hanya tugas pemerintah dan tenaga medis semata, pembentukan gugus tugas penanganan pandemi sejatinya harus bisa dimaknai sebagai tugas kepanitiaan zikir akbar atau pengerahan massa, yang mengatur dan mendorong kesadaran kita semua, akan pentingnya aktivitas-aktivitas dengan aksi aksi nyata melalui kegiatan-kegiatan anti pandemi baik dalam lingkup pribadi, keluarga, hubungan antar manusia maupun dalam lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan, yang dengan sendirinya akan menuntut kita untuk berperan aktif mencegah dan menekan paparan virus ini, disamping melakukan tugas emergency menghilangkan dan mematikan virus covid yang terdeteksi yang menjadi sumber musibah pandemi ini.
Sikap optimistis dan keyakinan individu, masyarakat dan pemerintah bahwa musibah pandemi covid ini akan segera berlalu juga berperan aktif dalam menjaga dan memompakan semangat tawakal sosial yang kreatif dari semua anak bangsa, tugas menjaga semangat ini juga akan dipandang efektif bila didukung dan diamini oleh contoh dan keteladanan baik itu oleh pimpinan formal, maupun informal dalam masyarakat, termasuk para ulama dan umaroh, tokoh agama, tokoh masyarakat, cerdik pandai tidak terkecuali kepala keluarga. Dengan terjaganya semangat, kebersamaan dan kegotongroyongan mengatasi musibah ini secara bersama, bukan saja sebagai perwujudan kesetiakawanan sosial dalam mengatasi pandemi tetapi juga memberi isyarat efektif atau tidaknya program-program bersama yang sudah kita lakukan dalam upaya kita dalam mengatasinya. Hanya dengan tawakkal sosial dalam konotasi spirit produktivitas, kesungguhan, keyakinan dan kerja keras yang secara terus menerus diatas, altar sunnatullah inilah yang akan menjaga upaya dan keberhasilan sosial kita menghilangkan pandemi ini.
Yang ketiga adalah dengan bersikap sabar dan memaknai kesabaran sebagai keteguhan hati ketika menerima cobaan, menerima hal-hal yang tidak disukai dan teguh menerima ujian, kesabaran dalam arti sempit dalam menyikapi pandemi adalah dengan tetap bersikap menahan diri dan tetap mengedepankan spirit untuk keluar dari musibah, baik dalam kaitannya dengan fisik, misalnya berupaya menjaga imunitas tubuh sendiri, menahan diri untuk tidak dulu bepergian untuk hal-hal yang tidak mendesak, sementara tidak pergi sekolah dan kuliah dulu di kampus tercinta guna menghindari terpapar atau memaparkan virus, menahan diri untuk tidak berkumpul mendengarkan ceramah agama, arisan dll, dalam arti luas kesabaran juga bisa menyangkut kesabaran akan syahwat politik dan kekuasaan, karier yang cepat, kemajuan perusahaan yang pesat dan keuntungan ekonomi yang banyak.
Solusi terakhir adalah bersikap ikhlas yang dinamis, Mutawalli Sya’rawi dalam bukunya Anta Tsa’alu Wa al Islamu Yajibu (dalam Syahrin Harahap) menyebutkan bahwa ikhlas adalah bukan saja dalam artian perbuatan, melainkan juga termasuk kesucian maksud dan tujuan dari suatu aktivitas, lawan dari kata ikhlas adalah riya, ikhlas adalah juga mencerminkan tanda hati yang sehat dan tidak hilang baik adanya balasan atas perbuatan itu maupun tidak, nilai aktivitas dan perbuatan terkait dukungan kita terhadap upaya keluar dari pandemi hendaklah dilakukan semata-mata untuk mencapai keridoanNya, kepedulian sosial terkait pandemi haruslah dimanifestasikan dengan kerelaan atau ketulusan hati, serta kemampuan untuk melihat bahwa upaya-upaya kita untuk mengatasi pandemi ini bukan saja berorientasi untuk mencapai keberhasilan dunia dan hilangnya pandemi, tetapi lebih jauh dari itu haruslah bisa kita pandang dalam orientasi ilahiah, yang juga merupakan ibadah untuk keselamatan kita bersama di dunia dan di akhirat. Keikhlasan untuk melakukan dan turut serta dalam usaha bersama ini mengatasi pandemi ini, haruslah dapat kita pahami sebagai ikhlas dan rela dalam dimensi vertikal (hubungan sesama manusia) maupun dalam dimensi horizontal (hubungan manusia dengan tuhannya). AZy.***( Novizul Khoy )
————————-