(Painews.id) BANDAR LAMPUNG — Dalam ilmu hukum terdapat asas yang menganggap semua orang tanpa terkecuali mengetahui hukum yang dikenal sebagai Asas Fictie Hukum atau Fiksi Hukum.
Fiksi Hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure) tanpa terkecuali.
Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan.
Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu.
Yang menjadi pertanyaan, kapan seseorang dianggap telah mengetahui adanya suatu hukum dan peraturan perundang-undangan?
Berlakunya asas Fiksi Hukum adalah ketika syarat-syarat mutlak penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut telah dipenuhi, sebagai contoh untuk berlakunya Undang-Undang (UU) adalah ketika diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri / Sekretaris Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu UU adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan dalam UU itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam UU, maka UU itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam LN. untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam LN. Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka setiap masyarakat sudah dianggap mengetahui peraturan atau undang-undang tersebut.
Fiksi Hukum diatur lebih lanjut dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya memuat prinsip yang sama yaitu
“ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf”
serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara, artinya Sdr. Jhonson tidak bisa mengelak, karena menggunakan asas ini, sehingga bisa segera ditetapkan sebagi tersangka”. Ujar Syech Hud Ismail, S.H Ketua Divisi Advokasi dan Penegakkan Hukum LBH Perkumpulan Advocaten Indonesia. (**)